JILATAN ANJING DALAM THAHARAH
Oleh: Suud Hasanudin, M. Phil.
Dalam hal ini para Ulama sepakat membuang air yang terjilat anjing dan mencuci tempat atau bijananya. dan berbeda pendapat tentang kenajisan anjing dalam tiga pendapat:
Pertama; Bahwa anjing najis seluruhnya, termasuk bulunya. Inilah pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah, dan sebagian besar Ulama kalangan Hanabilah. Kedua; sedikit berbeda dari sebelumnya Bahwa air liurnya najis, dan bulunya adalah suci. Inilah madzhab yang masyhur dari Imam Abu Hanîfah rahimahullah, dan mayoritas pengikutnya, dan inilah riwayat lain pendapat dari Ahmad rahimahullah.”
Ketiga; Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya. bejana terkena liur, atau dijilat anjing, harus dicuci. Ini sebagai bentuk kepatuhan kepada syariat (Ta’abudi). Inilah pendapat yang masyhur (terkenal) dari Imam Mâlik rahimahullah. (Fiqh ‘ala Mazhâhibil Arba’ah, 1/18, Lihat al-Fiqh al-Islâmi wa ‘Adilatuhu,1/305, Mughni al-Muhtâj, 1/78, Al-Mughni 1/52, (lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân karya al-Qurthubi 13/45)
Diantara argumen pendapat pertama; anjing najis seluruhnya, termasuk bulunya adalah:
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana salah seorang diantara kalian yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah”. [Mutafaqqun ‘alaih].
Lafazh “thuhûru” (suci atau kesucian) itu tidak ada kecuali bersuci dari hadats atau najis. Perintah mencuci bejana padahal yang terkena oleh air liur anjing adalah air; sebab seandainya yang terkena adalah bejana, tentu dikatakan:
إِذَا وَلَغَ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ
“Apabila anjing menjilat bejana”
Imam ash Shan’ani rahimahullah berkata, “Perintah mencuci bejana adalah karena air liur anjing. Ini menunjukkan zhahir (isyarat nyata) bahwa mulut anjing adalah najis (karena tempat melekatnya air liur). Ketika dia menjilati seluruh badannya maka itu menjadi qiyâs (atas najisnya seluruh badannya)”. [Subulus Salâm, 1/22]
إذا ولغ الكلبُ في إناءِ أحدكم فليُرِقْهُ ثم ليَغْسِلْهُ سبعَ مراتٍ
Artinya: “Rasulullah ﷺ bersabda: apabila anjing menjilati bejana seorang antara kalian, maka buanglah airnya kemudian cucilah 7 kali cucian”.
Jika air liur anjing itu najis, maka anggota tubuh yang lain selain air liur lebih pas untuk dihukumi najis.
Perintah dalam hadits untuk membuang airnya dan membasuh bejana ketika anjing menjilatnya menunjukkan bahwa najis yang timbul dari anjing adalah benar-benar najis berat. Jika tidak demikian, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup memerintahkan untuk membuang sisa air yang diminum anjing tersebut saja.
Najisnya anjing tidak mungkin hanya berasal dari mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga keringatnya. Lagi pula anjing memiliki kebiasaan menjilat-jilat tubuhnya, sehingga tubuhnya terlumuri oleh liurnya yang najis.
Argumentasi pendapat yang menghukumi bahwa yang najis dari anjing hanya air liurnya saja, sedangkan anggota tubuh lainnya suci, adalah :
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ.
“Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah”. [Mutafaqqun ‘alaih]. Hadits ini menunjukkan bejana menjadi najis dengan sebab air liur.
Perintah mencucinya tujuh kali dalam riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan delapan kali dalam riwayat Ibnu al-Mughaffal Radhiyallahu anhu salah satunya dengan tanah merupakan dalil najisnya air liur anjing.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah membawakan hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang jelas-jelas menunjukkan mencuci dari jilatan anjing karena najis. Hadits ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah dengan sanad yang shahih. Al-Hâfizh rahimahullah menyatakan, “Dengan sanad yang sahih dan tidak ada seorangpun dari Shahabat yang menyelisihinya.” [Fathul Bâri, 1/276].
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Imam Muslim (فَلْيُرِقْهُ) , yang artinya, “Maka hendaklah dia menumpahkannya,” menguatkan pendapat yang menyatakan najisnya air liur anjing ini karena mencucinya disebabkan najis, karena membuangnya lebih umum dari bentuk air atau makanan. Seandainya suci tentulah tidak diperintahkan untuk membuangnya karena beresiko pembuangan harta. padahal air sangat banyak dibutuhkan untuk wudhu atau mandi, dan kebutuhan hidup lainya.
argumentasi Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya. Mereka berdalil dengan:
firman Allâh Azza wa Jalla :
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allâh kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allâh atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allâh, Sesungguhnya Allâh amat cepat hisab-Nya.” [Al-Mâidah/5:4].
Hal ini karena hewan buruan itu mesti terkena liur anjing, sehingga adanya penegasan tentang kehalalan (binatang buruan yang berhasil ditangkap oleh anjing itu) menunjukkan sucinya air liur anjing (yang menangkapnya). Dan seekor anjing memburu dan membunuh mangsanya pasti dengan melalui gigitan mulutnya, namun tidak ada perintah untuk mencuci bagian yang tersentuh mulut anjing pada hewan buruan tersebut. [Lihat ‘Aridhatul Ahwadzi, Ibnul Arabi 1/35 Subulus Salâm, ash-Shan’ani 1/22]
Perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu anhu.
كَانَتْ الْكِلَابُ تُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Anjing-anjing keluar masuk masjid di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka tidak menyiram sedikitpun darinya”. (HR. al-Bukhâri 1/51)
Dalam riwayat Ibrâhîm bin Ma’qil dalam Shahîh al-Bukhâri:
كَانَتْ الْكِلَابُ تَبُوْلُ وَ تُقْبِلُ وَتُدْبِرُ
“Anjing kencing dan keluar masuk”.
Tambahan kata (تَبُوْلُ) hanya ada dalam naskah Ibnu Hajar rahimahullah dan beliau rahimahullah berkata, “Hadits Ahmad bin Syabib dari bapaknya bersambung dalam riwayat Abu Nu’aim dalam al-Mustakhrajnya dan al-Baihaqi dan selainnya (lihat Hâdi as-Sâri, hlm 24). Demikian juga al-Hâfizh rahimahullah menjelaskan dalam Taghlîq at-Ta’lîq 1/109, “Lafazh tambahan ini tidak ada dalam naskah-naskah ash-Shahih, namun disampaikan al-Ashili bahwa dalam riwayat Ibrâhîm bin Ma’qil an-Nasafi ada lafazh: (تَبُوْلُ وَ تُقْبِلُ وَتُدْبِرُ).
Riwayat ini Ibnu Umar yang menyandarkannya kepada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga zhahirnya menunjukkan kesucian bekas anjing; karena kebiasaan anjing adalah mengikuti bekas-bekas makanannya. Sebagian Shahabat dahulu tidak memiliki rumah dan tinggal di masjid, sehingga liur anjing akan menempel pada sebagian dari masjid. [Lihat Syarhu al-Bukhari, karya Ibnu Bathâl 3/268]
Dari semua hal diatas kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua ulama dari mendalami dalil-dalil yang ada baik dari al Qur’an dan as Sunnah sepakat untuk membuang air dan mencuci tempatnya, jika terkena jilatan anjing. yang berdeda hanyalah anggapan akan kenajisannya.
Tinggalkan Komentar