Santri Pesantren Persis Bangil hari Senin, 22 April 2024 sudah memulai kegiatan resmi. Setelah masa liburan sejak 03 Maret hingga 21 April 2024 cukup panjang hibernasi dari aktivitas formal di pesantren. Dalam foto, Ustadz Suud Hasanudin, M. Phil., sedang menyampaikan taujih, pengarahan di masjid Pesantren Persis Putri. Alhamdulillah semangat memahami agama sebagai usaha meraih standar kebaikan di sisi Allah Ta’ala. Mengutip sebuah artikel di laman muslim.or.id, yang mengetengahkan hadits terkait kebaikan seseorang. Berikut ulasan dalam artikel dimaksud:
Dari Mu’awiyah radhiallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama” (Muttafaqun ‘alaihi).
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS. Thaha: 114).
Dan firman-Nya:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9).
Dan juga firman-Nya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Dan firman-Nya pula:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang berilmu)…” (QS.
Fathir: 28).
Yang dimaksud dengan ilmu, yang telah diterangkan di dalam dalil-dalil tentang keutamaan, pahala, dan ketinggian derajat orang-orang yang menuntutnya serta merupakan warisan para Nabi; adalah ilmu syariat, baik yang berkenaan dengan akidah (keyakinan) maupun amal (praktek ibadah). Inilah ilmu yang penuntut dan orang yang mempelajari dan mengajarkannya terpuji di sisi Allah. Bukan ilmu yang berkaitan dengan dunia, seperti ilmu perhitungan, ilmu teknologi dan yang sejenisnya. Dan menuntut ilmu merupakan jihad fi sabilillah dan setara dengannya, sebagaimana diterangkan dalam kitabullah. Hal itu disebabkan; orang yang tidak berilmu (tidak mengetahui) tidak mungkin baginya untuk beramal ibadah sesuai dengan apa yang dimaksud dalam syariat. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. At-Taubah: 122).
Maksud ayat ini; mengapakah sebagian dari kaum mukminin tidak pergi berjihad ke medan perang di jalan Allah, dan sebagian yang lainnya tetap tinggal guna memperdalam ilmu agama dan memberi peringatan kepada yang lainnya sepulang mereka kembali dari medan perang?
Sehingga, dalam ayat ini Allah setarakan antara tafaqquh fid din (mempelajari agama) dan jihad fi sabilillah. Bahkan belajar agama lebih utama daripada berperang di jalan Allah. Karena tidak mungkin seorang mujahid dapat berjihad, seorang yang shalat dapat melakukan shalat dengan benar, seorang pembayar zakat membayar zakatnya dengan tepat, orang yang berpuasa dapat berpuasa dengan baik, seorang yang berhaji dan umrah melaksanakan ibadahnya; melainkan apabila ia berilmu dan memahami tata cara ibadah-ibadah tersebut dengan benar. Bahkan tidak mungkin orang yang makan, minum, tidur, dan bangun kembali melaksanakan semua aktifitas tersebut dengan baik dan benar melainkan dengan ilmu pula. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa ilmu merupakan dasar dan landasan segala sesuatu. Oleh sebab itulah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama” (Muttafaqun ‘alaihi).
Tidak ada perbedaan antara mujahid yang membawa persenjataannya dan penuntut ilmu yang berusaha membahas permasalahan ilmu dari kitab-kitab induk agama Islam, karena masing-masing dari mereka beramal dan bekerja di jalan Allah. Orang yang pertama berjihad menegakkan dan membela agama Allah, sedangkan yang kedua berusaha menjelaskan syariat Allah kepada seluruh hamba Allah. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya, Riyadhush Shalihin, meletakkan Bab Ilmu setelah Bab Jihad; sebagai penjelasan bahwa ilmu semisal dengan jihad. Bahkan, sebagian ulama lebih mengutamakan Ilmu di atas jihad fi sabilillah. Namun pendapat yang benar adalah dengan perincian dan dengan mempertimbangkan keadaan; di antara kaum Muslimin ada yang jihad lebih sesuai dan utama baginya, dan di antara mereka ada yang menuntut ilmu lebih baik baginya. Maka, jika seorang Muslim memiliki kekuatan dan keberanian yang unggul, akan tetapi di dalam ilmu ia sangat kurang atau pas-pasan saja, sedikit hafalan ilmunya, sulit memahami ketika mempelajari ilmu, maka di sini kita katakan, berjihad (berperang di jalan Allah) lebih utama baginya. Namun jika keadaan seorang Muslim sebaliknya, ia tidak memiliki kekuatan tubuh yang prima, atau tidak memiliki keberanian hati yang kokoh, akan tetapi ia memiliki kekuatan hafalan, pemahaman dan kesungguhan yang baik dalam menuntut ilmu; maka menuntut ilmu lebih utama baginya. Namun jika kedua sisinya sama, maka di antara ulama ada yang tetap lebih mengutamakan menuntut ilmu. Karena menuntut ilmu merupakan dasar dan landasan utama setiap Muslim. Juga, dengan ilmu semua orang dapat merasakan manfaatnya, orang yang jauh maupun yang dekat, orang yang hidup saat itu dan orang yang dilahirkan kemudian. Bahkan akan bermanfaat bagi penuntutnya di masa hidupnya dan setelah matinya. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا مات الإنسانُ انقطع عنه عملُه إلا من ثلاثةٍ : إلا من صدقةٍ جاريةٍ . أو علمٍ ينتفعُ به . أو ولدٍ صالحٍ يدعو له
“Jika manusia meninggal dunia terputuslah darinya seluruh amalannya, kecuali tiga hal; sedekah yang terus menerus, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim (1631) (14)).
Semua orang membutuhkan ilmu, baik mereka para Nabi ataupun bukan. Semua orang membutuhkan ilmu. Oleh karena itu Allah perintahkan Nabi-Nya untuk mengucapkan:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”” (QS. Thaha: 114).
Para Rasul membutuhkan ilmu dan pertambahannya. Sebagaimana mereka pun berdoa dengan memohon kepada Allah agar Allah menambahkannya. Maka, jika keadaan para Nabi dan Rasul saja demikian terhadap ilmu, tentunya orang-orang selain Nabi dan Rasul lebih membutuhkan lagi.
Sudah sepantasnya seorang hamba meminta kepada Allah agar ditambahkan ilmu kepadanya. Dengan demikian, wajib baginya berusaha mencari ilmu. Adapun jika sekedar berdoa saja dengan mengatakan, “Ya Allah tambahkan ilmu kepadaku”, namun tanpa ada usaha dengan melakukan sebab bertambahnya ilmu, maka ini jelas tidak dibenarkan sama sekali dan bukan sikap yang bijaksana. Orang yang demikian, sama halnya dengan orang yang berdoa, “Ya Allah, berikan rizki seorang anak kepadaku”, namun ia tidak mau menikah sama sekali. Maka, dari mana ia akan memperoleh anak? Jadi, harus dengan usaha melakukan sebabnya, karena Allah itu Maha Bijaksana. Ayat ini juga merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu. Pada ayat ini Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku harta” Bahkan Allah berfirman pula kepada Nabi-Nya:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari
mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih
baik dan lebih kekal” (QS. Thaha: 131).
Foto: Imas Masyithoh
Tinggalkan Komentar