TENTANG NAJISNYA KOTORAN HEWAN
Oleh: Suud Hasanudin, M. Phil. (Guru Mushthalah Hadits)
Seluruh Ulama sepakat sebakat bahwa kotoran manusia adalah najis berdasarkan dalil. mengenai kotoran hewan dibagi menjadi dua; hewan yang halal dimakan, dan hewan yang diharamkan dimakan. Belum kami jumpai dalil (al Qur’an dan Hadits) yang tegas dan jelas sebagaimana kenajisan kotoran manusia. hanya saja Ulama madzhab Hanafiyah dan madzhab Syafi’i, berpendapat bahwa seluruh kontoran hewan itu najis baik hewan yang halal dimakan ataukah hewan yang haram dimakan berdasarkan:
النَّجَاسَةُ لُغَةً مَا يُسْتَقْذَرُ وَشَرْعًا بِالْحَدِّ مُسْتَقْذَرٌ يَمْنَعُ صِحَّةَ الصَّلَاةِ حَيْثُ لَا مُرَخِّصَ
Artinya: “Secara bahasa, najis adalah sesuatu yang dipandang jijik. Sedangkan secara istilah sesuatu yang kotor dan menjijikkan, ia menyebabkan shalat tidak sah – selama tidak ada sebab yang meringankan.” (Sulaiman bin Umar Al-Ujaili. Hasyiyah al-Jamal. Beirut: Ihya Turats al-Arabi. Juz II/ Hal 105).
Imam Zakariya al-Anshari, penulis kitab Asnal Mathalib mendefinisikan najis adalah:
بِكُلِّ عَيْنٍ حَرُمَ تَنَاوُلُهَا مُطْلَقًا فِي حَالَةِ الِاخْتِيَارِ مَعَ سُهُولَةِ تَمْيِيزِهَا، وَإِمْكَانِ تَنَاوُلِهَا لَا لِحُرْمَتِهَا، وَلَا لِاسْتِقْذَارِهَا، وَلَا لِضَرَرِهَا فِي بَدَنٍ أَوْ عَقْلٍ
“Setiap benda yang haram dikonsumsi secara mutlak dalam keadaan ikhtiyar (tidak terpaksa), mudah dibedakan wujudnya, dapat dipergunakan, tidak dimuliakan, tidak dianggap jiji, serta bukan karena sebab berbahaya bagi tubuh dan pikiran.” (Imam Zakariya al-Anshari. Asnal Mathalib. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Juz I/Hal 25)
Pada dua definisi diatas semua jenis kotoran masuk dalam katagori najis, baik kotoran manusia atau hewan, baik hewan yang halal, dan atau haram.
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ ١٥٧
Artinya: “menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang Khobaits (kotoran) buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-A’raf)
Dan pada Hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha
قال رسول الله ﷺ لا صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ”. رواه مسلم
Artinya: “Radulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada sholat jika makanan telah dihidangkan dan juga jika ia menahan dua kotoran”.
“Khobaits” dan “akhbatsan” bentuk tunggalnya adalah khobats artinya kotoran. maka pada ayat al Qur’an tersebut yang termasuk diharamkan adalah kotoran-kotoran (baik kotoran manusia atau hewan). dan setiap yang diharamkan adalah najis dalam pandangan madzab ini. Juga disebut dalam hadits tidak sah sholat seseorang yang menahan salah satu dari dua kotoran. kotoran yang dimaksud dipahami secara umum baik kotoran manusia atau kotoran hewan.
مَرَّ النَّبِيُّ – ﷺ – عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الْآخَرُ كَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ عَنِ الْبَوْلِ أَوْ مِنَ الْبَوْلِ. – وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى – كَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
Artinya: “Nabi ﷺ melewati dua kuburan yang keduanya diadzab dan keduanya tidaklah diadzab karena dosa besar, lalu beliau beresabda: “Salah satunya karena tidak menjaga dari kencing”.” HR. Bukhari Muslim. Dan dalam riwayat yang lain: “karena tidak menutupi dari kencingnya.”
Al-Khotthobi berkata: “Dalam hadits ini adalah dalil bahwa kencing adalah najis semuanya, baik dagingnya bisa dimakan ataupun tidak, karena adanya lafadz hadits tersebut secara mutlak berdasarkan keumumannya dan mencakup semuanya”. (dalam kitabnya Al-Mu’allim.
Sedangkan kaidah yang berlaku dalam madzhab Malikiyah, Hambali, dan sebagian kecil dari madzhab Syafi’iyah (Imam Abu Said Al-Ustukhri dan Imam Ar-Rawyani)[1], bahwa air kencing dan kotoran binatang, mengikuti hukum dagingnya. Jika dagingnya halal dimakan, maka air kencing dan kotorannya tidak najis, dan sebaliknya kotoran hewan yang diharamkan, kotoranya najis. Alasan yang dibawakan adalah :
خَرَجَ النَّبِىُّ – ﷺ – لِحَاجَتِهِ فَقَالَ الْتَمِسْ لِى ثَلاَثَةَ أَحْجَارٍ. قَالَ فَأَتَيْتُهُ بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ إِنَّهَا رِكْسٌ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pergi untuk buang hajat. Beliaupun menyuruhku, “Carikan tiga batu untukku.” Akupun membawakan dua batu dan satu kotoran kering. Beliau mengambil dua batu dan membuang kotoran kering itu, sambil bersabda, “Ini Najis.” (HR. Ahmad 3757, Tirmudzi 17, Ad-Daruquthni, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak kotoran yang diberikan oleh Ibnu Mas’ud dan beliau memberikan alasan yaitu ‘kotor’ yang berarti najis dan ini mencakup kotoran hewan yang dimakan dagingnya dan yang tidak dimakan. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menghilangkan najis selesai buang hajat, dan najis tidak menghilangkan najis.
كَانَ يُصَلِّى فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ
“Sebelum masjid dibangun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di kandang kambing”. (HR. Bukhari 234 dan Muslim 1202).
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – ﷺ – عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ فَقَالَ : صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat di kandang kambing. Jawab beliau, “Lakukanlah shalat di kandang kambing, karena itu berkah.” (HR. Ahmad 19042, Abu Daud 184).
Kita bisa menduga kuat, orang yang shalat di kandang kambing, setidaknya di tempat sholatnya ada kotoran kambing. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sengaja menggunakan kandang kambing sebagai tempat shalat, ini dalil bahwa kotoran kambing tidak najis.
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ ، فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ – ﷺ – بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا ، فَانْطَلَقُوا
Datang beberapa orang dari suku Ukl dan Urainah. Mereka pun sakit karena tidak kuat dengan cuaca Madinah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk datang ke peternakan onta, dan agar mereka minum air kencingnya dicampur susunya. Mereka pun berangkat dan melakukan saran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 233, Muslim 4447 dan yang lainnya).
Mengkonsumsi barang najis hukumnya terlarang. Karena semua yang najis pasti haram. Dan Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan secara sengaja memilih benda haram untuk dijadikan obat. Ketika kencing onta boleh dikonsumsi, ini menunjukkan bahwa kencing onta tidak najis.
خَرَجْنَا إِلَى تَبُوكَ فِى قَيْظٍ شَدِيدٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً أَصَابَنَا فِيهِ عَطَشٌ حَتَّى ظَنَنَا أَنَّ رِقَابَنَا سَتَنْقَطِعُ حَتَّى إِنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيَذْهَبُ يَلْتَمِسُ الْمَاءَ فَلاَ يَرْجِعُ حَتَّى يَظُنَّ أَنَّ رَقَبَتَهُ سَتَنْقَطِعُ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْحَرُ بَعِيرَهُ فَيَعْصُرُ فَرْثَهُ فَيَشْرَبُهُ فَيَجْعَلُ مَا بَقِىَ عَلَى كَبِدِهِ
Kami berangkat menuju tabuk dalam keadaan sangat serba kekurangan. Kemudian kami singgah di suatu tempat, dan kami sangat kehausan. Hingga kami menyangka leher kami akan putus. Hingga ada orang yang menyembelih ontanya, lalu dia memeras kotorannya dan meminumnya, sementara sisa perasannya ditaruh di atas perutnya. (HR. Ibnu Hibban 1383, Baihaqi dalam Sunan al-Kubro 20131).
Catatan :
وَأَمَّا الْآخَرُ كَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ عَنِ الْبَوْلِ أَوْ مِنَ الْبَوْلِ.
“Salah satunya karena tidak menjaga dari kencing”.” Didatapi riwayat lain dengan lafadz :
كَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Karena tidak menutupi dari kencing(nya).”
Yang dimaksud disini adalah kencingnya manusia. sebagaimana yang kami sampaikan penjelasan dari Imam al Bukhori sebagaimana kami sebutkan berikut ini.
Ibnu Hajar al Asqolani menceritakan tentang keterangan Imam al Bukhori pada hadits dua ahli kubur yang diazab lalu Nabi sebutkan sebabnya karena tidak menjaga dari kencing dengan judul bab:
باب من الكبائر ألَّا يَسْتَتِرَ من بَوله، ولم يَذكُر سِوَى بَول الناس
Yang dimaksud kencing dalam hadits tersebut adalah kencing manusia, bukan lainya. Ibnu Mulaqon berkata bahwa pilihan judul bab Imam al Bukhori tersebut mengindikasikan bahwa beliau memandang kotoran binatang, baik yang boleh dimakan atau yang tidak adalah sama. Ibnu Hajar melanjutkan, berpendapat seperti ini juga Imam as Sya’bi dan Ibnu Ulaiyah, dan Daud ad Dhohiri. Imam as Syaukanipun menyampaikan di Nailul Author.
[1] Syekh Khatib asy-Syirbini, al-Iqna’ fi Hilli Alfadz al-Minhaj, juz 1, hal. 5
Tinggalkan Komentar